Kamis, 02 Februari 2012

kicau-racauku

Surat Buat Penghuni Rumah
Beberapa saudara-saudara  saya yang sama-sama jauh dari rumah bertanya pada saya tentang keadaan rumah , kira-kira sebulan, dua bulan yang lalu, ah, tidak, setahun atau ah, saya tidak tahu persis kapan, saya lupa. Saya pelupa! Terhadap janji-janji yang dibuat sendiripun, Saya gampang lupa kok!
Bagaimana mau tahu, pulang saja tidak pernah. Saya tidak tahu apa motivasi mereka bertanya keadaan rumah pada saya, bukankah saya juga sama jauh dari rumah seperti mereka? Mungkin mereka terlalu kangen dan tidak tahu mau bertanya pada siapa lagi, memang diantara saudara-saudara yang lain, sayalah yang paling baru di perantauan, tapi bukankah itu lima tahun yang lalu saya berangkat dari rumah? Saya tidak tahu seperti apa keadaan rumah sekarang ini. Saya tidak bisa menjawab pertanyaan yang dilontarkan beberapa saudaraku tadi, saya tidak bisa menipu mereka dengan jawaban-jawaban abal-abal yang seakan-akan melegakan mereka. Saya tidak bisa menjawab “buruk” jika yang terjadi ternyata “baik”, saya tidak bisa menerangkan “A” jika yang terjadi sejatinya “B”. Saya tidak mau mereka mabuk kerena saya suguhi minuman “arak” kebohongan. Ya sebuah kebohongan yang dilakukan akan tetap menjadi sebuah kebohongan apapun namanya meski atas nama dan demi kebaikan atau kebahagiaan atau pemakluman-pemakluman yang lain.
Sayapun mencari cara agar saya bisa mengupdate informasi tentang rumah. Mau pulang ah, jauh jaraknya, saya tak punya cukup ongkos. Telepon? Telepon ke siapa? Di desa saya tak ada jaringan telkom, apalagi lewat SMS, BBM, twitter, Facebook juga E-mail. Lalu apa ya? Oh ya, masih ada satu lagi cara yang menurutku efektif dan murah. Hitung-hitung memanfaatkan jasa pak pos yang sudah terlindas buldozer bernama modernisasi yang serba singkat dan instan, keinstanan modernisasi juga telah mempengaruhi pola pikir dan hidup kita, segala hal. kenikmatan proses sudah tak laku lagi dipasaran kehidupan, konsumen lebih suka yang instan. Sudah jarang lagi kita melakukan proses memasak, meracik bumbu-bumbu, dan menunggu hasil. ”kalau bisa, sekarang saya ingin sekarang juga saya dapat!” (waduh, saya kok jadi ngelantur ngalor-ngidul ini ya? Hehe…)
Ya saya memilih berkirim surat. Saya pun bergegas mengambil kertas dan pulpen lantas menulisnya.
Ehm, begini! Dengarkan!

Kepada
Bapak , mas, juga adik-adikku tersayang
Di rumah
Langit senjakala di atas atap begitu gelap penuh gemuruh tapi tak juga kami lihat tanda tetes hujan yang turun, tak pernah kami rasakan udara sedingin ini dan angin datang berondong-bondong dengan cepat meninju-tinju kulit kami yang tipis. Tapi keadaan yang seperti itu tak sedikitpun menipiskan niat kami untuk menulis surat ini.

Pak, mas dan adik-adikku!
Kami ingin mengabarkan bahwa disini kami baik-baik saja, tak kurang suatu apapun, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Kami sudah punya kehidupan masing-masing. meski hidup tak mudah tapi kami berusaha untuk tidak gampang mengeluh, kami menikmatinya seperti kami menikmati peran yang sering kami mainkan dulu bersama. Kami tak pernah protes! Kenapa mereka begitu sedang aku begini? Kenapa mereka dapat anu sedang aku mendapat ini? Ya, Kami tidak pernah protes, kami ingat pak'e pernah berkata, "setiap manusia punya peran masing-masing yang mesti dimainkan dengan baik dalam panggung hidup yang lebih luas".

Oh ya, bagaimana kabar pak’e? apa masih bersahaja seperti dulu? apa kumisnya masih tebal? apa vespanya masih sering mogok Hehehe… , bagimana dengan mas? masih galau dengan masalah percintaan? hehe... Lantas adik-adik? Ah, pasti sekarang mereka sudah besar dan hebat-hebat. Lalu kabar rumah? Masih seperti dulukah atau hhmm….. sudah ada yang berubah? Bangunananya Makin kuatkan? Tamannya makin asri kan? Bunga yang kami tanam dipekarangan sekarang apa masih ada? Yah… sudahlah kami terima jika memang sudah banyak yang berubah. Bukankah semuanya pasti akan terus begerak-berputar . dengan begitu berarti tanda-tanda kehidupan tetap tejaga. seperti bumi yang bergerak-berputar mengelilingi matahari? ya, seperti waktu yang terus-menerus berputar, dari senin ke senin . ya, senin yang sama tapi tentu berbeda. Ya, begitu juga harapan kami pada rumah Yang tetap bisa memberi rasa nyaman-krasan, kehangatan dan keteduhan seperti dulu tetapi makin kuat konstruksi bangunannya, makin asri tamannya, makin kompak penghuninya dalam kerjasama, makin jempolan kualitas manusia yang tinggal disana. Ah….

Pak, mas dan adik-adikku tersayang!
Maaf jika kali ini kami tidak bisa pulang kerumah, bukannya kami lupa sejarah atau sok sibuk bukan juga bermaksud menyalahkan keadaan yang menahan kami untuk pulang. Sebenarnya kami ingin sekali pulang, kerna sudah lama tidak berknjung ke rumah. Jujur saja kami sudah merasa kangen bahkan kangen itu sudah jadi semacam penyakit yang lama kelamaan makin tambah akut jika tidak segera disembuhkan.

Ah, aku jadi makin kangen rumah! Kangen juga dengan pak’e, mas juga adik-adik. Kangen dengan suasana rumah, ketika suka sama dirasa dan duka sama direnungi, persoalan-persoalan pun kami garap bersama-sama. Bahkan tidak jarang kami gelut hanya karena soal kecil. Ah, aku ingin kembali ke masa itu. Tapi jarum jam tidak akan bergerak terbalik bukan? Duh….

Pak, mas dan adik-adikku tersayang!
Sekarang setelah benar-benar merasakan kehidupan kami jadi tahu
jika hidup tak seperti bayangan masa kecil dulu. Segalanya bisa digapai, begitu mudah bahkan! Ketika bermain rumah-rumahan serasa kami punya rumah sendiri yang besar dan keluarga bahagia, Bermain mobil-mobilan serasa kami punya mobil walaupun sederhana tapi bisa membawa kami dan keluarga kemana-mana. Bemain perang-perangan serasa menjadi prajurit gagah bertempur membela negara. Yah! Begitu Bebas bercita-cita, memilih hidupnya sendiri.

Sekarang setelah benar-benar merasakan kehidupan kami jadi tahu
Seperti teater yang suka sering kami mainkan dulu, ada tragedi, komedi, tragedi komedi atau komedi yang tragedi. Kadang juga kami rasakan tragedi yang paling tragis menjadi lebih komedi dan membuat kami tertawa terkekeh-kekeh setelah sempat merenunginnya. Begitulah hidup setelah kami merasakannya. Seperti sponsor nano nano “manis asam asin rame rasanya” hehehe…

Tapi kami tidak kaget, ketika dulu masih menjadi bagian dari rumah, kami sudah banyak belajar tentang hidup dan kehidupan. Kami belajar hidup di dunia besar melalui dunia kecil itu. Kami bersyukur pernah menjadi bagian dari rumah dan bisa belajar banyak disana.
Ah, kami terlalu banyak bicara ya? Maaf!

Terima kasih atas semua yang sudah diberi pada kami. Kami tak tahu dengan apa dan bagaimana mesti membalasnya.

Semoga kelak kami bisa kembali pulang. Meski sekedar mencari bekas-bekas sejarah yang pernah kami ukir di sana.

Adik-adikku, kaulah itu kepompong yang akan menetas jadi kupu-kupu, terbang menari melukis warna pelangi di langit biru. kalianlah harapan juga kebanggan kami! Jaga rumah dengan baik ya! Jangan nakal!

Sudah ya! kami akhiri saja keluh kesah ini, kalau dituruti terus tentu tidak akan ada habisnya seperti kangen kami padamu.

Salam kangen dari kami
anak-anak bapak yang mengembara di belantara raya kehidupan.


Ya, Cuma itu  beberapa kalimat yang berhasil mewakili apa yang saya pikirkan,saya rasakan. sayapun berhasil menulisnya –dengan susah payah- kerna saya tidak punya kepandaian menulis sebenarnya.
Pagi-pagi benar saya pergi ke kantor pos. saya urus proses pengirimannya, lantas setelah semuanya beres, sayapun pulang dengan H2C (harap-harap cemas) semoga sampai tujuan, Belum lama dikirim tapi tak sabar saya segera menerima balasan surat. “bapak, mas, adik-adikku atau siapa saja penghuni rumah, aku menunggu jawaban surat darimu! Lantas akan kuberi tahu saudara-saudaraku di perantauan.”
Kalau Bapak, mas, adik-adik atau siapa saja penghuni rumah merasakan adanya sebuah tuntutan dalam isi surat ini, saya minta maaf! Saya hanya berusaha menuliskan harapan dan kangen saya lewat surat ini, bukan melakukan penuntutan jadi tak perlu ada pembelaan. Saya juga tidak sedang menghakimi lho! Toh Saya juga bukan hakim, jaksa, bukan penasihat hukum. Saya adalah tertuduh yang duduk didepen meja Hakim Yang Maha Adil sewaktu-waktu bisa menjatuhkan hukuman jika saya terbukti bersalah.
Saya juga tertuduh yang duduk didepan Hakim Yang Maha Benar, saya akui bahwa saya sudah berprasangka mengada-ada terhadap sesuatu yang saya tidak ketahui kulit-dagingnya, lantas menyebarkannya ke orang banyak. saya sudah melakukan macam-macam cara untuk mendapatkan sesuatu yang saya minati, Saya juga sudah memakai kata “kami” padahal “saya” yang berkepentingan.
Saya siap menerima vonis.
Saya juga tidak bisa memaksa agar semuanya sama seperti dulu. Hidup tidak bisa stagnan, mesti terus berputar dengan begitu tanda-tanda kehidupan tetap terjaga. 
maaf!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar